Thursday, February 25, 2016



Leonardo Juan W 9G-23
Perlawanan Agresi Militer Belanda I
A.      Pengertian Agresi Militer I
"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
B.       Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda. Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
latar belakangnya agresi militer belanda 1  merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

C.      Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
1.    Tujuan politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia.
2.    Tujuan ekonomi. Merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
3.    Tujuan militer Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).[1][1]
D.      Kronologis Terjadinya Agresi Militer I
Sesudah penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Belanda berusaha keras memaksakan interpretasi mereka sendiri dan berjalan sendiri untuk membentuk negara-negara bagian yang akan menjadi bagian dari negara Indonesia Serikat, sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini diawali dengan konferensi yang diselenggarakannya di Malino, Sulawesi Selatan, dan kemudian di Denpasar, Bali. Di sana mereka berhasil membentuk negara boneka Indonesia Timur dengan dibantu oleh orang-orang yang pro Belanda seperti Sukawati dan Anak Agung Gde Agung. Anak Agung Gde memang sejak awal sudah memusuhi pemuda-pemuda pro Republik di daerahnya, serta mengejar-ngejar dan menangkapinya. Memang tujuan utama Belanda penandatanganan Persetujuan Linggarjati ialah menjadikan negara Republik Indonesia yang sudah mendapatkan pengakuan de facto dan juga de jure oleh beberapa negara, kembali menjadi satu negara bagian saja seperti juga negara-negara boneka yang didirikannya, yang akan diikutsertakan dalam pembentukan suatu negara Indonesia Serikat. Langkah Belanda selanjutnya ialah memajukan bermacam-macam tuntutan yang pada dasarnya hendak menghilangkan sifat negara berdaulat Republik dan menjadikannya hanya negara bagian seperti negara boneka yang diciptakannya di Denpasar. Yang menjadi sasaran uatamanya ialah menghapus TNI dan perwakilan-perwakilan Republik di luar negeri, karena keduanya merupakan atribut negara berdaulat. Semua tuntutan Belanda ditolak. Sementara itu keadaan keuangan Belanda sudah gawat, dan kalau masalah Indonesia tidak cepat diselesaikan maka besar kemungkinan Belanda akan bangkrut. Agresi militer pertama dilakukan Belanda berlatar dua pokok di atas, yaitu melenyapkan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dengan menghilangkan semua atribut kemerdekaannya, dan keadaan keuangan Belanda yang sangat gawat. Dalam serangan Belanda yang pertama itu mereka bermaksud hendak menduduki Yogyakarta yang telah menjadi ibu kota perjuangan Republik Indonesia, dan menduduki daerah-daerah yang penting bagi perekonomian Belanda, yaitu daerah-daerah perkebunan, ladang minyak dan batu baik di Sumatera maupun di Jawa. Usaha ini untuk sebagian berhasil; mereka berhasil menduduki daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari hasil penjualan produksi perkebunan-perkebunan yang masih terkumpul, mereka mengharapkan mendapatkan uang sejumlah US$ 300 juta, sedangkan biaya agresi militer diperhitungkan akan memakan US$ 200 juta, jadi masih ada ”untung” US$ 100 juta.
E.       Berakhirnya Agresi Militer Belanda I
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.[2][2] Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Selanjutnya PBB membentuk Komisi PBB yang terdiri atas tiga negara: satu dipilih oleh Indonesia, satu oleh Belanda dan yang satu lagi dipilih bersama. Komisi Tiga Negara ini terdiri atas Amreika Serikat, Australia dan Belgia. Sjahrir memilih Australia, dan bukan India, karena India sudah dianggap oleh dunia sebagai pro Indonesia, sedangkan Australia adalah negara bangsa kulit putih, yang dianggap lebih obyektif pendiriannya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkiraan Belanda dengan mengadakan agresi militernya yang pertama meleset sama sekali; karena tanpa diperhitungkan sejak semula, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertindak atas usul India dan Australia.
India dan Australia sangat aktif mendukung Republik di dalam PBB, di mana Uni Soviet juga memberika dukungannta. Akan tetapi, peranan yang paling penting akhirnya dimainkan oleh Amerika Serikat. Mereka yang menentukan kebijakan Belanda, bahkan yang lebih progresif di antara mereka, merasa yakin bahwa sejarah dan pikiran sehat memberi mereka hak untuk menetukan perkembangan Indonesia, tetapi hak ini hanya dapat dijalankan dengan menghancurkan Republik terdahulu. Sekutu-sekutu utama negeri Belanda terutama Inggris, Australia, dan Amerika (negara yang paling diandalkan Belanda untuk memberi bantuan pembangunan kembali di masa sesudah perang) tidak mengakui hak semacam itu kecuali jika rakyat Indonesia mengakuinya, yang jelas tidak demikian apabila pihak Belanda harus menyandarkan diri pada penaklukan militer. Mereka mulai mendesak negeri Belanda supaya mengambil sikap yang tidak begitu kaku, dan PBB menjadi forum umum untuk memeriksa tindakan-tindakan Belanda. Untuk pertama kali sejak PBB didirikan pada tahun 1945, badan ini mengambil tindakan mengentikan penyerangan militer di dunia dan memaksa agresor agar menghentikan serangannya. Belanda yang menginginkan supaya masalah Indonesia dianggap sebagai suatu persoalan dalam negeri antara Belanda dan jajahannya, telah gagal, dan masalah Indonesia-Belanda menjadi menjadi masalah internasional. Kedudukan Republik Indonesia menjadi sejajar dengan kedudukan negara Belanda dalam pandangan dunia umumnya.
F.       Dampak Agresi Militer I bagi Bangsa Indonesia
Dampak yang diperoleh bangsa Indonesia akibat adanya agresi militer I oleh pihak Belanda yaitu sempat dikuasainya beberapa daerah-daerah perkebunan yang cukup luas, di Sumatera Timur, Palembang, Jawa Barat dan Jawa Timur. Meski PBB telah turut membantu mengatasi agresi militer yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia dengan diadakan penghentian tembak menembak, tidak berarti bahwa tindakan militer Belanda langsung terhenti. Mereka terus-menerus mengadakan gerakan pembersihan untuk mengamankan dareah-dareah yang telah didudukinya. Dalam gerakan pembersihan ini sering pula terjadi tindakan kejam oleh pasukan Belanda, terutama di dareah-daerah yang sudah mereka duduki namun tidak dapat dikuasai, umpamanya dareah sekitar Krawang-Bekasi Di sekitar Bekasi beroperasi pasukan kita yang dipimpin oleh Lukas Kustrayo.
Setelah pembentukan BKR ia langsung bergabung, dan pasukan yang dibentuknya beroperasi di sekitar Bekasi. Setelah Belanda meyerang pada bulan Juli 1947 Lukas tetap beroperasi di sana dan tetap menganggu kehadiran Belanda di daerah itu, juga setelah diadakan pengehentian tembak- menembak. Kegiatan Lukas sangat menjengkelkan Belanda, sehingga Lukas diberi julukan ”Tijger van West Jawa” (Harimau Jawa Barat). Belanda terus-menerus berusaha mengejar Lukas dan pasukannya, tetapi selalu tidak berhasil. Setelah mereka mengetahui bahwa Lukas bermarkas di desa Rawagede, mereka menyerbu desa itu pada tanggal 9 Desember 1947, dan lagi-lagi Lukas dan pasukannya lolos. dalam kemarahan dan frustasi karena usaha mereka tidak berhasil, pasukan Belanda menembaki rakyat desa Rawagede secara membabi buta dan membunuh 491 orang dewasa dan anak-anak. Kekejaman Belanda ini tidak pernah kita ungkapkan ke dunia luar, karena pada waktu itu memang kita tidak mempunyai aparat untuk melakukanya. Kekejaman Belanda lain yang dapat disebut adalah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1948 oleh pasukan Kapten Wasterling, yang juga tidak pernah dihukum. Juga peristiwa kapten api maut di Jawa Timur, ketika prajurit-prajurit Republik Indonesia yang tertawan oleh Belanda diamsukkan dalam gerbong kereta api yang kemudian ditutup rapat tanpa ventilasi, sehingga semua tawanan mati lemas karena kepanasan dan kehabisan udara.





serangan umum 1maret -eurico 9G.9

SERANGAN UMUM 1 MARET

serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada & cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dlm perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yg menghubungkan kota-kota yg telah diduduki.Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yg kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yg sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung-yg sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial & ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut & melancarkan propaganda yg menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yg harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.

Hutagalung yg membentuk jaringan di wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yg saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober 1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di [dahulu] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yg dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan [Pemerintah Darurat Republik Indonesia -PDRI], ada organisasi TNI & ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yg tak bisa disembunyikan oleh Belanda, & harus diketahui oleh UNCI [United Nations Commission for Indonesia] & wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI & para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yg bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II & III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dlm rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yg dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yg terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yg telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:

Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yg melibatkan Wehrkreise I, II & III,Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yg dimiliki oleh AURI & Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT [Pendidikan Politik Tentara] Kementerian Pertahanan.
Dampak dari peristiwa ini adalah a. meningkatkan semangat juang TNI dalam pertempuran
b. menunjukan bahwa TNI masih ada dan terorganisasi
c. menjadi alasan medasar diangkatnya masalah keberadaan RI dalam forum PBB
d. dapat dikuasainya Yogyakarta selama 6 jam

Nilai yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah rela berkorban demi kepentingan bangsa dan harus bersikap patriot dalam membela tanah air

Puputan Margarana Bali (Ferdy 9G/10)

Ferdy Anggara
9G/10

 Puputan Margarana Bali

Perang Puputan Margarana merupakan perang yang terjadi antara Indonesia dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia . Perang ini terjadi pada 20 November 1946. Setelah Indonesia merdeka, pada masa-masa perang kemerdekaan kembali terjadi perang puputan di wilayah Kabupaten Tabanan. Adalah Desa Marga, Kecamatan Marga, menjadi tempat bersejarah yang menandai bagaimana rakyat Indonesia, khususnya rakyat Bali gigih menentang segala bentuk penjajahan. Di tempat pertempuran secara puputan terakhir ini, kini ditandai dengan situs candi yang dikenal dengan Candi Margarana. Marga adalah tempat kejadiannya, sedangkan rana berarti perang atau pertempuran. Perang Puputan Margarana dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai untuk melawan aksi militer kolonial Belanda. Cerita berawal Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga.

     Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan". Puputan adalah istilah dalam bahasa bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massa yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Akhirnya Di Desa Margarana pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya
gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 November 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

       Dampak perang puputan ini sangat beragam bagi kemerdekaan Indonesia. Ada yang positif dan ada yang negative. Poin positifnya adalah bahwa jiwa nasionalis masyarakat bali dan masyarakat Indonesia pada umumnya sangat besar. Mereka tidak takut untuk menghadapi NICA, meski mereka tahu bahwa kekuatan NICA sudah pasti tidak akan tertandingi, namun mereka memiliki semangat untuk berjuang. Tentu perang puputan ini akan tersebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Semangat pemuda pemudi akan muncul. Sehingga daerah lain pun tak segan untuk mempertahankan tanah kelahirannya meski harus dibayarkan nyawa.

    Poin negativenya adalah tentu kerugian materiil yang dialami oleh masyarakat bali. Senjata dan nyawa pun harus dikorbankan. Desa Marga yang awalnya aman dan tenteram juga harus rusak oleh adanya pertempuran ini. Begitu juga dengan gugurnya pasukan, maka Bali pun menjadi tanah yang tak bertuan. Sehingga kapan saja NICA bisa datang dan merebut tanah Bali. Ketika NICA berhasil merebut tanah bali, hal itu pasti akan berdampak pada kemerdekaan Indonesia, karena Bali merupakan salah satu wilayah Indonesia yang cukup strategis yang menghubungkan antara wilayah barat dan timur harus jatuh ke tangan NICA.

    Melalui pertempuran Margarana, kita diajarkan untuk tidak kehilangan kepercayaan diri. Dimana kepercayaan diri harus tetap dijunjung tinggi dalam kesempatan apa pun. Misalnya ketika kita tahu akan menghadapi Ujian yang sulit, kita harus tetap menghadapi soal tersebut dengan sebaik baik nya, caranya dengan belajar lebih giat setiap harinya agar siap saat menghadapi ujian tersebut.
       
      Kita juga diajarkan untuk  pantang menyerah. Masyarakat bali yang tentu penduduknya tidak sebanyak masyarakat jawa saja pantang menyerah untuk melawan NICA. Intinya sesulit apapun masalah yang kita hadapi, pertahankanlah apa yang sudah seharusnya milik kita, kita harus terus menggapainya dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki.
Bandung Lautan Api (Andrea Josephine 9G/02)

Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946

Peristiwa Bandung Lautan Api peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 23 Maret 1946. Dalam waktu 7 jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar meninggalkan rumah mereka menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Malam tanggal 21 November1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata. Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, Kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api. Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

Dampak dari Peristiwa Bandung Lautan Api terhadap Indonesia adalah kerugian yang dialami oleh masyarakat masyarakat bandung, karena hancurnya infrastruktur dan rumah rakyat sipil. Sebaliknya, Dampak bagi sekutu tidak seberapa atau bahkan bisa dibilang tidak ada. Karena, sejak awal, salah satu rencana sekutu memanglah menghancurkan Bandung.


Banyak nilai nilai yang bisa kita ambil dari peristiwa ini, contohnya yaitu berani membuat keputusan, dan rela berkorban. Keputusan saat membakar harta, bangunan, atau bahkan rumah tentu saja sulit. Tetapi masyarakat di Bandung berani mengambil keputusan tersebut, meskipun mereka harus menanggung resiko yang besar. Selain percaya diri, kita juga harus rela berkorban. Kita tidak boleh egois, mau menang sendiri, tetapi kita juga harus mementingkan sesama. Bukan berarti kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, tetapi keduanya itu harus seimbang. Dimulai dari hal hal kecil seperti disaat bermain bersama teman, kita tidak boleh egois, mau menang sendiri. 

Wednesday, February 24, 2016

Perundingan Linggarjati 



RYAN SUTEJA 9G/33


Upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan RI selain dengan kekerasan, ada juga yang dengan kelembutan. Upaya ini biasanya dengan melakukan perundingan atau membuat sebuah perjanjian dengan Belanda. Salah satunya adalah perundingan/perjanjian Linggarjati. Berikut merupakan penjelasannya :
Sebab / Latar Belakang perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Sebelumnya, diplomat dari Inggris, Sir Archibald Clark Kerr mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14 – 25 April 1946 untuk menyelesaikan konflik. Namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe ini, maka  kemudian diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa Barat.
Pelaksanaan dan Isi Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggarjati terlaksana pada 11 – 15 November 1946 di Linggarjati, dekat Cirebon. Dalam perundingan ini, dihadiri oleh perwakilan dari Indonesia dan Belanda. Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya:
– Max Van Poll,
– F. de Baer, dan
– H.J. Van Mook.
Sedangkan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan anggotanya ialah:
– Mr. Moh. Roem,
– Mr. Susanto Tirtoprojo, dan
– A.K. Gani
Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu.
Pada tanggal 15 November 1946, hasil perundingan diumumkan dan disetujui oleh kedua belah pihak. Secara resmi, naskah hasil perundingan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947. Perundingan ini menghasilkan pokok-pokok  sebagai berikut :
  • Belanda mengakui  de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam menyelenggarakan berdirinya negara Indonesia Serikat. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
  • RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua
    Adapun isi dari perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 pasal dan 1 pasal penutup.
Terjadi pro dan kontra mengenai perjanjian Linggarjati tetapi akhirnya Indonesia menandatangani perjanjian ini pada 25 Maret 1947 dengan alasan :
  • Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai merupakan jalan yang paling baik dan aman untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia.
  • Cara damai akan mendatangkan simpati dan dukungan internasional yang harus diperhitungkan oleh lawan.
  • Keadaan militer Indonesia yang masih lemah jika menyetujui perundingan memungkinkan Indonesia memperoleh kesempatan untuk memperkuat militer.
  • Jalan diplomasi dipandang sebagai jalan untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan dan penegakan Negara RI yang berdaulat.
Dampak Perundingan Linggarjati terhadap Indonesia dan Belanda
Hasil perundingan ini tetap memberikan kesempatan untuk Belanda membangun kedaulatannya di Indonesia. Pada dasarnya pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Namun hasil yang paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan de facto dari Belanda. Bukan hanya Belanda, perundingan linggarjati juga berdampak terhadap negara asing lainnya yang berangsur-angsur mengakui kekuasaan RI. Kesepakatan pemberntukan RIS yang membuat Indonesia jharus menjadi bagian persemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar kepada Indonesia yang menginginkan kedaulatan. Perundingan LInggarjati ini membuat Indonesia terhindar dari banyaknya korban jiwa yang jatuh jika dibanding dengan melakukan peperangan.
Dampak negatif dari perundingan ini yaitu terjadinya gejolak dalam tubuh pemerintahan Indonesia. KNIP tidak secepatnya mengesahkan perundingan linggarjati ini karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Belanda. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI, dan pengikut Tan Malaka begitu keras menentang perjanjian Linggarjati. Walaupun, pada akhirnya KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 setelah Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
Dampak yang lebih terasa lagi, adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia. Hal ini diakibatkan karena Belanda mengganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian Linggarjati. Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatic dengan negara lain, padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian LInggarjati. Agresipun dilakukan keesokan harinya pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera.



Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (Nathan 9G/27)


Nathan 9G/27
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

 

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dimulai pada 28 Oktober 1945 dengan terjadinya insiden di Bank Internasional Jembatan Merah Surabaya yang menewaskan Brigjend Mallaby. Saat itu Pasukan Sekutu meminta agar pembunuh Brigjend Mallaby menyerahkan diri. Pada tanggal 9 November 1945 Pasukan Sekutu mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan agar semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletajan senjatanya di tempat yang telah ditentukan. Batas waktu ultimatum tersebut adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Rakyat Surabaya yang pada saat itu dipimpin oleh Gubernur Soeryo menolak ultimatum tersebut sehingga Surabaya digempur dari darat, laut, dan udara. Saat itu pula Bung Tomo membakar semangat pejuang dengan pidato-pidatonya lewat stasiun radio di Jalan Mawar Nomor 4 Surabaya. Pertempuran terakhir terjadi di Gunung Sari tanggal 28 November 1945. Untuk Mengen kepahlawanan rakyat Surabaya, maka tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. (Buku PPKN untuk SMP kelas IX terbitan Quadra)

Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lannya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Dampak peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya bagi perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah berkobarnya semangat juang para pejuang apalagi dengan pidato-pidato yang dilontarkan Bung Tomo. Setelah kejadian itu, seperti artikel diatas, tanggal 10 November di Indonesia dijadikan sebagai Hari Pahlawan karena banyaknya korban yang jatuh dari pihak Indonesia maupun Sekutu.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya bukan hanya menyisakan sejarah yang kelam bagi Indonesia, namun juga menyisakan nilai-nilai yang positif bagi Indonesia. Nilai tersebut yaitu Kecintaan dan rasa memiliki
terhadap tanah air sehingga timbul motivasi untuk mempertahankan Indonesia.  Motivasi mempertahankan tanah air tersebut bukan dengan cara berjuang hingga tumpah darah seperti dahulu, tetapi dalam pelajaran. Maksudnya jika kita belajar dengan tekun, mungkin kita bisa mengikuti lomba dan menang lalu membawa nama Indonesia di kanca dunia. Nilai lainya adalah meningkatnya rasa nasionalisme dan patriotisme di jiwa warga negara Indonesia. Sehingga rasa cinta tanah air akan semakin lebih tinggi.


puputan margarana bali ( Jason 9G/17)

Jason  9G/17

PERTEMPURAN PUPUTAN MARGARANA DI BALI

Pertempuran puputan margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia dan belanda dalam masa perang kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tanggal 20 november 1946. pertempuran ini dipimpin oleh kepala divisi sunda kecil kolonel I gusti ngurah rai dimana pasukanya bertempur habis-habisan demi mengusir pasukan belanda.pertempuran ini terjadi karena I gusti ngurah rai menyuruh pasukanya untuk  merebut senjata polisi NICA pada saat malam hari tanggal 20 november 1946.pasukanya berhasil merebut beberapa senjata mereka beserta pelurunya dan komandan polisi NICA menggabungkan dirinya ke pasukan I gusti ngurah rai.setelah itu pasukannya kembali ke desa margarana.pada saat pagi hari kurang lebih pukul 10.00 pagi sudah terjadi pertempuran antara pasukan NICA dengan pasukan I gusti ngurah rai.karena pasukan I gusti ngurah rai tidak bertekad mundur sampai titik darah penghabisan dan juga pasukan bagian depan belanda banyak yang tewas maka belanda meminta bantuan pasukan dan pesawat pengebom dari Makassar.pada saat itu juga I gusti ngurah rai mengadakan perang puputan atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga menyebabkan seluruh pasukannya yang berjumlah 96 orang  serta I gusti ngurah rai sendiri  tewas dan kurang lebih 400 orang dari pihak belanda tewas.sejak saat itu peristiwa ini dikenal sebagai perang puputan margarana dan kini berkas arena pertempuran  itu didirikan tugu pahlawan taman pujaan bangsa.

Dampak peristiwa tersebut adalah banyak orang yang tewas karena perang puputan tersebut dan wilayah tersebut akhirnya dikuasai belanda.tetapi  tindakan tersebut adalah tindakan terakhir yang bisa dilakukan oleh mereka karena kekuatan pasukan mereka jauh lebih lemah dibandingkan kekuatan tempur belanda dan walaupun mereka melarikan diri tetap saja wilayahnya akan dikuasai dan mereka bisa tetap dicari lalu dibunuh oleh belanda.karena itu  I gusti ngurah rai mengadakan perang puputan agar dapat melemahkan pasukan belanda walaupun harus mengorbankan seluruh pasukannya serta dirinya sendiri.

Nilai-nilai yg dapat diambil adalah kita tidak boleh mudah menyerah pada saat situasi sulit karena jika kita mudah menyerah maka kita tidak akan bisa menghadapi masalah yang lebih sulit dari sebelumnya dan kita akan selalu gagal karena tidak pernah berusaha. seperti yang dihadapi seluruh pasukan I gusti ngurah rai.mereka saat itu juga dihadapkan situasi sangat sulit tetapi mereka pantang menyerah juga tidak bertekad mundur sampai titik darah penghabisan dan  terus berjuang sampai akhir walaupun akhirnya mereka kalah.jadi pada saat kita dihadapkan situasi yang sulit kita harus bisa mencari solusi untuk dapat menghadapi situasi sulit tersebut dengan cara berpikir optimis,bekerja keras,tidak mengandalkan orang lain,dan lain-lain, bukan dengan cara menyerah dan tidak mau berusaha.sekarang ini kebanyakan warga Indonesia selalu mudah menyerah pada saat situasi sulit sehingga banyak diantara mereka jatuh dalam kemiskinan,kegagalan,dan lain-lain.dan hanya sedikit warga Indonesia yang pantang menyerah sehingga mereka dapat berhasil sampai sekarang.oleh karena itu sebagai anak-anak penerus bangsa Indonesia,kita harus menanamkan sifat tidak mudah menyerah agar dapat memajukan bangsa Indonesia sehingga pengorbanan  jasa-jasa pahlawan seperti I gusti ngurah rai yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia  tidak sia-sia     

Konferensi Meja Bundar (Joanne Marcella)

Joanne Marcella
9G/18

KONFERENSI MEJA BUNDAR


Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus 1949-2 November 1949. Pertemuan tersebut adalah pertemuan antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Sebelum dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar, ada beberapa pertemuan lain, yaitu Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen. Pertemuan-pertemuan itu dilaksanakan untuk menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda secara diplomasi. Pada awalnya, Belanda mencoba untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan cara kekerasan namun tidak membuahkan hasil dan karena itu, Belanda juga mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional.

Setelah Perundingan Linggarjati dan Perjanjian Renville pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara Belanda dan Indonesia. Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli 1949, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.

Pemerintah Indonesia yang telah diasingkan selama enam bulan kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:
1.   Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2.   Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada konstitusinya; rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Nederland.
3.   Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.

Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno dilantik menjadi presiden dan Hatta sebagai Perdana Menteri yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda. Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerderkaan Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945.

Dampak dari peristiwa ini bagi Indonesia adalah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini juga mengakhiri pertikaian antara Indonesia dan Belanda. Walaupun begitu, Irian Barat masih belum dianggap sebagai bagian dari Indonesia sehingga Indonesia harus tetap memperjuangkan Irian Barat.

Nilai yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah tidak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan. Kita bisa menggunakan cara yang lebih halus, contohnya adalah melakukan musyawarah seperti yang ditulis dalam Pancasila sila ke-4.