Nathanael Thomas
9G / 28
Merah Putih di Manado
Peristiwa
merah putih di manado merupakan bagian dari serangkaian peristiwa yang terjadi
di indonesia ketika pihak sekutu berusaha untuk mengambil alih kembali
kekuasaan akan indonesia terlepas dari telah dideklarasikannya kemerdekaan oleh
soekarno dan hatta pada tanggal 17 agustus 1945. Peristiwa ini sendiri terjadi
pada tanggal 14 februari 1946 dan merupakan gerak militer dari pasukan knil
kompi vii yang pada saat itu ada di bawah pimpinan ch. Taulu, dimana mereka
kemudian merebut kekuasaan di beberapa lokasi di indonesia dengan bantuan
rakyat seperti manado, tomohon, dan minahasa. Dari percobaan perebutan
kekuasaan tersebut, ada sekitar 600 orang pasukan belanda dan pejabat tinggi
mereka yang berhasil ditawan. Pertempuran ini berakhir pada tanggal 16 februari
dimana mulai bertebaran sebuah selebaran berisi pernyataan perebutan kekuasaan
di seluruh manado oleh bangsa indonesia.
Peristiwa merah putih di Manado beserta beberapa peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia yang terjadi setelah deklarasi kemerdekaan tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara. Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu. Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Peristiwa merah putih di Manado beserta beberapa peristiwa-peristiwa lainnya di Indonesia yang terjadi setelah deklarasi kemerdekaan tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara. Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu. Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado,
tiba-tiba muncul pesawat pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik
Angkatan Udara Sekutu. Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian
menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya dengan tanah, mengubah setiap
gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan menewaskan
banyak penduduk. Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata
Sekutu yang berperan ganda sebagai tokoh nasionalis. Di bulan September 1944
ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil
ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun
April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal
yang menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado.
Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun
menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan
dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan bersebelahan dengan
bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru. Pada bulan September di bulan yang
sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan pasukan Sekutu
dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha
yang mereka lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apapun
terhadap kehidupan bermasyarakat, berpolitik, maupun ekonomi. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memberikan tugas kepada seluruh bangsa Indonesia: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Soekarno-Hatta. Tugas ini telah dilaksanakan oleh Lapian-Taulu dengan sangat berhasil melalui kudeta 14 Februari 1946, walaupun hanya dapat bertahan selama 24 hari dan kemudian dilanjutkan dengan revolusi kemerdekaan sampai akhir 1950 (KMB).
Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya kudeta 14 Februari 1946 yang berhasil merebut kekuasaan Belanda dan menggantikannya dengan suatu pemerintahan nasional yang merdeka di bawah pimpinan Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap, ditawan dan dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati dan Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di luar Jawa-Sumatera tidak termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di Yogya, namun pemerintah Merah-Putih Lapian-Taulu pada 22 Februari 1946 menyatakan dalam rapat umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI yang berpusat di Yogya.
LN Palar wakil Indonesia di PBB menyatakan sendiri bahwa RI diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, termasuk rakyat Sulawesi Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di Manado, seraya membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa perjuangan kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera.
Pada bulan terakhir tahun 1945,
Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari tanah
itu. Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya
menyerahkan tugas yang tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang
dipimpin oleh seorang Inggris. John Rahasia dan Wim Pangalila kemudian melihat
hal ini sebagai kesempatan untuk melakukan sebuah revolusi atau pemberontakan
yang akan dilakukan oleh pemuda-pemuda Manado. Di Bulan yang sama,
NEFIS-Belanda mulai sedikit lebih pintar, dan mereka sudah bisa mulai
mencurigai kedua orang yang akan melakukan pemberontakan ini.
Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang
ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga
mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka, yaitu Furir
Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga
karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.. Pada tanggal 14
Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi. Pada saat peristiwa
itu dimulai, mereka berhasil memengaruhi pihak Belanda, dan membuat Kopral
Mambi Runtukahu yang ditunjuk sebagai pemimpin ahli penyergapan pos yang ada di
markas garnisun Manado. Setelah serangan yang tidak memiliki perlawanan ini
selesai, ada beberapa nama kaum nasionalis yang kemudian ditangkap oleh NICA
dan dituduh sebagai mata-mata Jepang. Keberhasilan kudeta yang dilakukan oleh
Wuisan dan kawan-kawan tiba di telinga kapten KNIL pada masa itu, yang bernama
J Kaseger yang akhirnya ikut berjuang membela Indonesia.
Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan
16 Ferbuari, hanya satu hingga dua hari setelah peristiwa ini dimulai. Pada
tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries
tertangkap dan menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan
demi membuat kesepakatan akan perselisihan yang terjadi ini. De Vries, seperti
layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh
pihak Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya. Pada saat itu, sebenernya
Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian
berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan
mempertahankan perjuangan itu. Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa
kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera merah putih.
Dari perjuangan yang dilakukan
oleh Taulu terlihat bahwa ia tidak patah semangat walaupun sudah sangat
terdesak, ia tetap berjuang dan akhirnya ia berhasil mengibarkan bendera merah
putih di manado, nilai-nilai yang dapat diambil dari pertempuran tersebut
adalah bahwa kita tidak boleh patah semangat atau kehilangan harapan karena
jika kita terus berusaha semampu kita maka keberhasilan akan dapat kita raih.
No comments:
Post a Comment