Tuesday, February 23, 2016

Konferensi Meja Bundar (Maria Benedicta)

Maria Benedicta
9G-25

Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 antara Republik Indonesia, Belanda, dan BFO yang mewakili berbagai negara yang didirikan oleh Belanda di kepulauan Indonesia. PBB juga turut hadir dalam konferensi ini. Terdapat 3 pertemuan tingkat tinggi yang telah dilaksanakan sebelum KMB ini digelar, yaitu Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen.
Konferensi-konferensi tersebut dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia-Belanda secara diplomasi, sebab usaha Belanda melalui jalur kekerasan tidak membuahkan hasil. Selain itu, Belanda juga mendapat kecaman dari dunia internasional.
Dalam konferensi ini, dihasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Belanda juga menyetujui penarikan mundur tentara Belanda “dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”. Indonesia juga memberikan status “bangsa paling disukai” kepada Belanda. Walau begitu, terdapat satu perdebatan antara Belanda dengan Indonesia yang cukup menyulitkan, yaitu masalah hutang-hutang Belanda. Belanda tidak mau melunasi hutang-hutang yang mereka buat selama berada di Indonesia untuk keperluan militer dan lain-lain. Mereka ingin menyerahkannya begitu saja kepada Indonesia. Sedangkan Indonesia merasa tidak adil jika mereka lah yang harus melunasi hutang-hutang tersebut, padahal hutang tersebut untuk memenuhi kebutuhan Belanda. Namun berkat intervensi anggota Amerika Serikat dalam anggota PBB untuk Indonesia, Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar hutang-hutang Belanda adalah harga yang harus dibayar untuk memperoleh kedaulatan.  Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir membuat perundingan menjadi buntu. Delegasi Indonesia merasa bahwa wilayah Indonesia yang berdaulat harus utuh dan lengkap meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Bagi Belanda, Papua Barat menolak mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari Indonesia sebab Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik apapun terhadap wilayah Indonesia lainnya.  Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Pada akhirnya, konferensi ini resmi ditutup pada tanggal 2 November 1949 di Gedung Parlemen Belanda. Kedaulatan diserahkan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, dengan isi perjanjian sebagai berikut:
1.      Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dank arena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2.      Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya, rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Netherland.
3.      Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".
Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.
Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatannya melalui Konferensi Meja Bundar ini. Namun untuk memperoleh kemerdekaan bangsa tidak semata-mata hanya melalui KMB maka Indonesia langsung merdeka. Seperti yang kita ketahui, ada 3 perjanjian yang telah dilaksanakan sebelum terjadinya peristiwa KMB ini. Bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Namun bangsa Indonesia tetap dengan gigih melakukan perjuangannya tanpa menyerah, putus asa, dan tak ada sedikitpun pesimisme di dalam spirit bangsa Indonesia pada zaman itu, karena bangsa Indonesia tau apa yang ada di depan mereka, apa yang akan mereka dapatkan, dan semua itu harganya sepadan dengan perjuangan yang telah dilakukan.

Sebelum Indonesia melakukan perlawan dalam bentuk diplomatik seperti KMB ini, bangsa Indonesia melakukan perlawanannya dengan mengangkat senjata. Terbukti penjajah dapat terpukul mundur di beberapa daerah. Namun, belum pernah tercatat sejarahnya di Indonesia bahwa perjuangan fisik tersebut berhasil hingga ke titik memperoleh kemerdekaan. Rupanya Indonesia mendapatkan kemerdekaannya melalui KMB, sebuah konferensi, perjuangan yang bersifat diplomatik, yang tidak menggunakan senjata samasekali, yang menuntut orang-orang cerdas untuk duduk di dalam ruangan konferensi tersebut untuk melakukan perundingan. Dari hal ini kita dapat ambil kesimpulan bahwa intelegensi lebih kuat pengaruhnya daripada kekerasan. Seperti pepatah “raise your knowledge, not your voice,” seperti itulah kita harus bersikap dalam menghadapi perdebatan dan perselisihan yang tidak akan bisa dihindari dalam hidup ini. Orang yang bijak dan berinteligen tidak berkoar-koar dan sok jagoan dengan kekuatan fisik yang dimilikinya, namun menggunakan kecerdasannya untuk melumpuhkan lawannya.

No comments:

Post a Comment