Maria Benedicta
9G-25
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja
Bundar (KMB) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda,
pada tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 antara Republik Indonesia, Belanda,
dan BFO yang mewakili berbagai negara yang didirikan oleh Belanda di kepulauan
Indonesia. PBB juga turut hadir dalam konferensi ini. Terdapat 3 pertemuan
tingkat tinggi yang telah dilaksanakan sebelum KMB ini digelar, yaitu
Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen.
Konferensi-konferensi
tersebut dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia-Belanda
secara diplomasi, sebab usaha Belanda melalui jalur kekerasan tidak membuahkan
hasil. Selain itu, Belanda juga mendapat kecaman dari dunia internasional.
Dalam konferensi
ini, dihasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan
ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Belanda juga
menyetujui penarikan mundur tentara Belanda “dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya”. Indonesia juga memberikan status “bangsa paling disukai”
kepada Belanda. Walau begitu, terdapat satu perdebatan antara Belanda dengan
Indonesia yang cukup menyulitkan, yaitu masalah hutang-hutang Belanda. Belanda tidak
mau melunasi hutang-hutang yang mereka buat selama berada di Indonesia untuk
keperluan militer dan lain-lain. Mereka ingin menyerahkannya begitu saja kepada
Indonesia. Sedangkan Indonesia merasa tidak adil jika mereka lah yang harus
melunasi hutang-hutang tersebut, padahal hutang tersebut untuk memenuhi
kebutuhan Belanda. Namun berkat intervensi anggota Amerika Serikat dalam
anggota PBB untuk Indonesia, Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar
hutang-hutang Belanda adalah harga yang harus dibayar untuk memperoleh
kedaulatan. Pada 24 Oktober,
delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir membuat
perundingan menjadi buntu. Delegasi Indonesia merasa bahwa wilayah Indonesia
yang berdaulat harus utuh dan lengkap meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Bagi
Belanda, Papua Barat menolak mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari
Indonesia sebab Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik apapun terhadap wilayah
Indonesia lainnya. Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan
Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat
meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November
1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui
perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun
setelah penyerahan kedaulatan.
Pada akhirnya, konferensi ini resmi ditutup pada tanggal
2 November 1949 di Gedung Parlemen Belanda. Kedaulatan diserahkan kepada
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, dengan isi perjanjian sebagai berikut:
1.
Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan
atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dank arena itu mengakui Republik Indonesia
Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
2.
Republik Indonesia Serikat menerima
kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinya, rancangan
konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Netherland.
3.
Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya
tanggal 30 Desember 1949.
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan
sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana
Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri
dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Tanggal penyerahan
kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda
sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun
kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi
mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus
1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan
sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia
selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan
permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif;
menteri luar negeri Indonesia Hassan
Wirayuda mengatakan
bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat
hubungan bilateral antara dua negara".
Tekait utang
Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam
kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.
Indonesia mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatannya
melalui Konferensi Meja Bundar ini. Namun untuk memperoleh kemerdekaan bangsa
tidak semata-mata hanya melalui KMB maka Indonesia langsung merdeka. Seperti yang
kita ketahui, ada 3 perjanjian yang telah dilaksanakan sebelum terjadinya
peristiwa KMB ini. Bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Namun bangsa Indonesia
tetap dengan gigih melakukan perjuangannya tanpa menyerah, putus asa, dan tak
ada sedikitpun pesimisme di dalam spirit bangsa Indonesia pada zaman itu,
karena bangsa Indonesia tau apa yang ada di depan mereka, apa yang akan mereka
dapatkan, dan semua itu harganya sepadan dengan perjuangan yang telah
dilakukan.
Sebelum Indonesia melakukan perlawan dalam bentuk diplomatik seperti KMB
ini, bangsa Indonesia melakukan perlawanannya dengan mengangkat senjata. Terbukti
penjajah dapat terpukul mundur di beberapa daerah. Namun, belum pernah tercatat
sejarahnya di Indonesia bahwa perjuangan fisik tersebut berhasil hingga ke
titik memperoleh kemerdekaan. Rupanya Indonesia mendapatkan kemerdekaannya
melalui KMB, sebuah konferensi, perjuangan yang bersifat diplomatik, yang tidak
menggunakan senjata samasekali, yang menuntut orang-orang cerdas untuk duduk di
dalam ruangan konferensi tersebut untuk melakukan perundingan. Dari hal ini
kita dapat ambil kesimpulan bahwa intelegensi lebih kuat pengaruhnya daripada
kekerasan. Seperti pepatah “raise your knowledge, not your voice,” seperti
itulah kita harus bersikap dalam menghadapi perdebatan dan perselisihan yang
tidak akan bisa dihindari dalam hidup ini. Orang yang bijak dan berinteligen
tidak berkoar-koar dan sok jagoan dengan kekuatan fisik yang dimilikinya, namun
menggunakan kecerdasannya untuk melumpuhkan lawannya.
No comments:
Post a Comment